Writer’s Block adalah Bencana bagi Penulis: Begini Cara Mengatasinya!

Ilustrasi writer’s block karya Leonid Pasternak.

Jemari mungkin sudah berdiri di atas keyboard laptop, tapi ternyata isi kepala berkata lain, “Wah, aku ada di jalan buntu!” Ada momen ketika kamu gak tahu mesti menulis apa, untuk siapa, dan mulai dari mana. Inilah yang disebut writer’s block. Menurut definisi Oxford Learner’s Dictionary, writer’s block adalah sebuah hambatan yang para penulis kadang hadapi dalam bentuk gak bisa memikirkan apa yang perlu ditulis dan gak memiliki ide-ide yang segar.

Teman-teman, jujur saja, kita sebagai penulis pasti merasa jengkel dengan kondisi ini. Kadang atau malah sering kali, menulis bukan sekadar hobi, melainkan juga sumber penghidupan, entah sebagai pekerja lepas ataupun pegawai kantoran. Kita perlu tetap profesional dengan menelurkan karya supaya bisa terus bermanfaat bagi sekitar. Masalahnya, writer’s block bisa menjadi penghambat kita untuk tetap profesional.

Kita tentu gak ingin terus terjebak di kondisi itu. Keinginan keluar dari kebuntuan dan mulai menulis lagi, entah esai, buku, cerpen, atau puisi adalah daya hidup yang gak baik untuk terus ditahan. Untuk mengatasi writer’s block, langkah pertama adalah mengidentifikasi akar masalahnya. Mustahil menyembuhkan luka yang terus muncul kalau kita gak tahu sumbernya: apakah akibat kecelakaan atau penyakit. Di bawah ini, aku menunjukkan beberapa penyebab writer’s block menurut pandangan Jerry Jenkins, seorang penulis bestseller, beserta cara mengatasinya.

Ketakutan

Ketakutan adalah perasaan pertama yang muncul ketika penulis dilanda writer’s block. Bentuknya bermacam-macam: takut gak cukup berpengetahuan, takut gak cukup baik, takut kalah bersaing, dan sebagainya. Perasaan itu bisa membuat penulis dalam sekejap menarik diri dari depan layar untuk gak menulis sama sekali. Perasaan ini harus dihadapi agar gak terus memperbudak dan menjauhkan penulis dari apa yang dia harus lakukan.

Jerry Jenkins memberikan solusi sederhana: peluklah ketakutan itu. Bukan berarti menyerah kepada rasa takut atau memilih terus-menerus menghindar dari kegiatan menulis. Maksudnya, mengakui dan mengenali ketakutan saat menulis itu menciptakan kerendahan hati. Kita perlu menyadari kalau apa yang kita ketahui masih terbatas, sehingga timbul kesadaran untuk bekerja keras menutup kekurangan tersebut. Dalam konteks ini, menurut Jerry, kerja keras itu diwujudkan lewat praktik menulis, dan dari situ kita akhirnya bisa mencapai keberhasilan.

Kebiasaan Menunda Pekerjaan (Procrastination)

Menurut Jerry, banyak penulis memang punya kecenderungan menunda pekerjaan. Ia sendiri mengaku sering menghabiskan setengah hari untuk menunda sebelum benar-benar menulis. Menunda-nunda, menurutnya, gak sepenuhnya bisa dihindari, sehingga ia memilih “memeluk” kecenderungan itu, namun bukan berarti malas terus-menerus.

Yang dilakukan Jerry adalah menjadwalkan kapan ia boleh menunda dan kapan harus benar-benar menulis dengan fokus. Strategi ini terasa efektif karena ia gak merepresi perasaan, tapi justru memvalidasinya, lalu menemukan keseimbangan yang baik.

Kita bisa mencontohnya. Dalam sehari ada 24 jam; sebagian waktu bisa dipakai untuk hobi atau kegiatan santai, misalnya memancing, makan seblak, mendengarkan musik, mengikuti kursus, atau membaca buku. Setelah melakukan aktivitas menunda yang sudah terjadwal, kita akan lebih siap menulis dengan mental dan pikiran yang segar. Alhasil, kegiatan menulis bisa terasa lebih mengalir.

Perfeksionisme

Keinginan menghasilkan karya sempurna menghantui pekerja kreatif, termasuk penulis. Ada dorongan kuat dalam diri kita agar karya tampak “sempurna”: ejaan benar, tanda baca tepat, transisi antarkalimat mulus, struktur paragraf padu, isi relevan, dan seterusnya. Hasrat ini sering mengganggu proses menulis karena realitas sering jauh dari ideal yang kita bayangkan.

Jerry Jenkins menyarankan penulis untuk bisa membedakan dua mode: mode penulis dan mode editor. Saat sedang menulis, fokuslah menulis tanpa mengkhawatirkan ejaan, tanda baca, atau kesempurnaan gaya. Setelah selesai menulis, barulah masuk ke mode editor untuk memperbaiki isi naskah. Pembagian ini penting agar energi gak terbuang sia-sia pada proses kreatif awal.

Distraksi

Distraksi adalah hal yang mengalihkan perhatian dari tugas menulis. Untuk mengatasinya, Jerry merekomendasikan dua hal. Pertama, atur jadwal menulis yang ketat di mana kamu gak dapat diganggu kecuali dalam keadaan darurat. Hal ini menciptakan batasan yang jelas antara kamu dengan orang lain yang perlu dihormati.

Kedua, jauhkan media yang gak terkait langsung dengan kegiatan menulis. Kalau kamu menulis sambil terus mengecek layanan video streaming, misalnya, konten yang ada di situ akan menarik perhatianmu sehingga menghambat proses menulis. Menonaktifkan sumber distraksi membantu mempertahankan fokus seorang penulis.

Kesimpulan

Banyak penulis, kalau bukan semua, pasti pernah merasakan writer’s block. Perasaan gak tahu mesti menulis apa atau mulai dari mana itu wajar terjadi. Menurut Jerry Jenkins, sumber writer’s block adalah sebagai berikut: ketakutan, kebiasaan menunda-nunda, perfeksionisme, dan distraksi. Keempat hal ini dapat diatasi dengan langkah-langkah berikut:

  • Mengatasi ketakutan dengan mengakui keberadaannya.
  • Mengatasi kebiasaan menunda dengan menjadwalkan waktu untuk menunda secara sadar dan menetapkan waktu khusus untuk menulis dengan fokus.
  • Mengatasi perfeksionisme dengan memisahkan mode menulis dan mode mengedit.
  • Mengatasi distraksi dengan menentukan jadwal tegas tanpa gangguan kecuali darurat, serta menonaktifkan media yang gak mendukung kegiatan menulis.

Semoga penjelasan ini membantumu keluar dari jalan buntu. Ingat: writer’s block memang menjengkelkan, tapi dengan pendekatan yang tepat, kita bisa melewatinya dan kembali produktif menulis.

Penulis yang senang baca sesuatu dan minum kopi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Shopping cart

No products in the cart

Return to shop
Chat WhatsApp
WhatsApp