Fahad: Menemukan Ruang Menulis di Tengah Jadwal Mengajar

Fahad alias Jojon.

Kamis sore di Karawang pada 2019 terasa berbeda dari biasanya. Langit mendung kelabu, bukan terik panas seperti lazimnya di kota industri itu. Di tengah suasana yang lesu, seorang pria berperawakan tinggi membacakan puisi dengan megafon, nadanya panas dan marah. Pria itu adalah Fahad, yang akrab dipanggil Jojon. Pertemuan pertama aku dengan Jojon cukup berkesan: orangnya ramah, murah senyum, dan punya hobi menulis.

Sekarang, Fahad bekerja sebagai guru di SMP IT Sehati Bina Insani, Karawang. Ia sudah mengajar sekitar empat tahun dan membawakan dua mata pelajaran: IPS dan PKN. Jadwalnya padat, mulai dari menyiapkan materi, memberi arahan kepada peserta didik, menilai tugas, hingga mengelola kelas. Apalagi sekolah tempatnya mengajar memakai sistem full day school, jadi aktivitas berlangsung full dari pagi sampai sore. Meski begitu, Fahad tetap setia pada hobinya: menulis.

Sejumput Kisah Pria Payah: Tantangan dalam Merangkai Narasi dan Memantik Kesadaran

Menjadi guru jelas membawa tantangan tersendiri. Waktu luang bukanlah sesuatu yang berlimpah, sehingga Fahad menata ritmenya dengan sederhana namun konsisten. Saat jam istirahat, ia menyempatkan membuka draf tulisan, bukan untuk menyunting panjang, melainkan sekadar mengingat alur dan menjaga fokus. Sesampainya di rumah, ia melanjutkan mengedit naskah sedikit demi sedikit hingga lebih padu dan layak dibaca. Dari satu kalimat di draf, tulisan itu bisa berkembang menjadi cerpen, bahkan sebuah buku.

Sejumput Kisah Pria Payah adalah kumpulan cerpen yang lahir dari kebiasaan menulis itu. Buku ini mengangkat berbagai fenomena, termasuk feminisme dan toxic masculinity: dua isu yang menurut Fahad semakin relevan untuk dibicarakan.

Soal toxic masculinity, misalnya: banyak lelaki berusaha agar tidak terlihat lemah. Ironisnya, upaya itu justru membuat mereka tampak “payah”. Salah satu contohnya bisa dilihat di tongkrongan, yaitu fenomena “lelaki tidak bercerita.” Menurut Fahad, sikap semacam ini kontraproduktif karena mengecilkan ruang bagi ekspresi emosi dan keterbukaan.

Aku sepakat dengan pandangan itu. Menutup ruang ekspresi hanya membuat emosi negatif mengendap, lalu berpotensi meledak dan merugikan orang lain. Lelaki yang terbiasa menahan diri juga akan menderita sendirian karena tidak punya tempat berkeluh kesah. Buku Fahad mengajak kita memandang fenomena ini secara kritis dan reflektif.

Ketika ditanya dari mana biasanya ia mendapat inspirasi menulis, Fahad menjawab: dari lingkungan sosial sekitarnya. “Waktu masih kuliah, saya kebetulan ikut kegiatan Perpustakaan Jalanan Karawang, Perpustakaan Punggung di Unsika, dan Nyimpang. Lalu, di beberapa kesempatan juga ikut kegiatan feminisme, salah satunya Swarasaudari dari Purwakarta yang mengadvokasi teman-teman perempuan,” ujarnya. Ia menambahkan, “Kalau dari perpusjal, saya jadi tertarik pada persoalan sosial. Makanya, yang saya angkat kebanyakan soal masyarakat urban, seperti masyarakat miskin kota dan buruh.”

Dari sini terlihat betapa pentingnya peran lingkungan bagi seorang penulis. Lingkungan bisa menjadi sumber pengetahuan dan kesadaran yang membentuk seorang penulis.

Sebagai guru sekaligus penulis, Fahad tidak hanya berhenti pada karyanya sendiri. Ia juga aktif menumbuhkan semangat literasi di kalangan murid. Salah satu kebiasaan yang ia lakukan adalah sesi tukar karya, di mana siswa dan dirinya saling membaca karya serta memberi umpan balik. Dari interaksi itu muncul respons positif: murid merasa dihargai, lebih termotivasi, dan mulai melihat menulis sebagai cara mengekspresikan pengalaman.

Saat ditanya soal dampak yang ia harapkan dari bukunya, Fahad menjawab sederhana: ia ingin karyanya bisa dinikmati. Jawaban yang membumi, tetapi sarat makna.

Bagi Fahad, menulis sebagai seorang guru adalah bentuk berbagi kesadaran kritis sekaligus memberi teladan. Guru, menurutnya, bukan hanya pengajar, melainkan juga contoh: bagaimana mencintai membaca, merangkai kata, dan menggunakan bahasa sebagai alat perubahan.

Di era yang penuh distraksi, kisah Fahad mengingatkan bahwa literasi lahir dari rutinitas sederhana, dari konsistensi kecil yang dilakukan terus-menerus. Untuk para guru, dosen, mahasiswa, maupun penulis: mungkin kita bisa mulai dengan memberi ruang kecil bagi tulisan, lalu membiarkan ruang itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar.

Di akhir wawancara, Fahad berpesan kepada para guru yang tertarik menulis: teruslah menulis, dan bila ingin menerbitkan buku, bisa langsung ke Pustakaki Press.

 

Penulis yang senang baca sesuatu dan minum kopi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Shopping cart

No products in the cart

Return to shop
Chat WhatsApp
WhatsApp